Jumat, 21 Agustus 2009

Perkawinan beda agama dalam prespektif HAM

PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM PRESPEKTIF HAM

Konstitusi atau Undang - Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, baik yang belum diamandemen maupun telah diamandemen, menjamin hak-Hak Asasi Manusia.

Perdebatan mengenai urgensinya pengaturan Hak Asasi Manusia dalam konstitusi atau Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, dimulai oleh BPUPKI sejak awal sidang pembentukan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.

Moh. Hatta dan Moh. Yamin berpendapat bahwa hak tersebut perlu dirumuskan dalam Konstitusi atau Undang-Undang Dasar untuk menjamin agar warga negara terhadap tindakan sewenang-wenang dari pihak penguasa.

Soekarno dan Soepomo, berpendapat bahwa hak-hak tersebut bertentangan dengan falsafah negara dan bangsa Indonesia seperti yang telah disepakati. Kemudian hak-hak manusia tersebut tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dan aliran ini disebut sebagai aliran pikiran atau falsafah kekeluargaan.

Meskipun Konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945 baik yang belum diamandemen maupun yang telah diamandemen mencantumkan dan menjamin Hak Asasi Manusia, demikian juga dengan reformasi-reformasi dalam segala bidang, tetapi di dalam praktek hukum di Indonesia masih terdapat perlakuan diskriminasi dan tidak menjamin Hak Asasi Manusia dalam perkawinan, khususnya perkawinan beda agama.

Hingga kini kenyataan dimasyarakat masih memunculkan persoalan dalam perkawinan, berarti hukum perkawinan yang dipayungi oleh Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan belum sepenuhnya aspiratif atau dengan kata lain, bahwa Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dimaksudkan untuk memfasilitasi seluruh anggota masyarakat secara nasional, belum memenuhi aspirasi sebagian anggota masyarakat.

Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, secara tegas mengatur Perkawinan Campuran dan sekaligus tentang sahnya perkawinan, berdasarkan perbedaan Kewarganegaraan antara Warganegara Indonesia dengan Warga Negara Asing yang bunyinya sebagai berikut; yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.

Bagi orang-orang yang berbeda agama belum memperoleh perlakuan tanpa diskriminasi untuk membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tersebut dalam pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Perkawinan bagi orang-orang yang berbeda agama tidak memungkinkan mencatatkan perkawinannya secara legal di Kantor Pencatatan Perkawinan tanpa perlakuan diskriminasi.

Ditinjau dari aspek sejarah dan perbandingan hukum, ternyata produk hukum Hindia Belanda lebih aspiratif terhadap perkawinan beda agama.

Diaturnya perkawinan beda agama dalam tatanan hukum Hindia Belanda, menunjukkan adanya penghargaan terhadap HAM dan kepastian hukum secara nyata.

Keberadaan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara rasional memunculkan se-jumlah asumsi bahwa;

Pertama, Negara memaksakan warganya untuk beragama tertentu yang diakui oleh negara;

Kedua, Negara memaksa warganya untuk mela-kukan perkawinan dengan orang seagama;

Ketiga, Negara memaksa warganya yang hen-dak melangsungkan perkawinan beda agama diluar wilayah Indonesia;

Keempat, Negara telah melakukan diskriminasi terhadap pasangan beda agama yang akan menye-lenggarkan perkawinan. Pemaksaan - pemaksaan dan diskriminasi tersebut apabila dikaitkan dengan HAM dan kepastian hukum, merupakan persoalan serius dan diragukan legitimasinya.

Pasal 28E ayat 2 Undang - Undang Dasar 1945 setelah diamandemen kedua disahkan tanggal 18 A-gustus 2000; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya. Tetapi dalam praktek- nya perkawinan beda agama memperoleh perlakuan diskriminasi dari pemerintah, dan Undang - Undang No. 1 Tahun 1974 Tetang Perkawinan, juga tidak mengatur perkawinan beda agama apabila diselenggarakan di Indonesia.

Fitrah manusia sebagai mahluk multidimensional, yang seharusnya dapat menyadarkan pencarian solusi secara bersama-sama, tetapi dalam kenyataannya sering tidak berjalan sesuai dengan harapan.

Tujuan hukum yang dapat mengakomodir aspek keadilan, kepastian, dan kemanfaatan pada akhirnya harus diselenggarakan berdasarkan penghormatan ter -hadap harkat dan martabat manusia.

Pada sisi lain agar legitimasi harkat dan martabat manusia menjadi kuat dan terjamin, juga memerlukan wadah hukum dalam bentuk perundang-undangan, karena itu orang yang berbeda agama harus diberi jalan keluar secara yuridis legal, untuk melangsungkan perkawinanannya, meskipun religius tidak legal, karena urusan religius merupakan urusan orang itu sendiri, biarlah dipertanggung jawabkan sendiri oleh pemeluknya yang tidak setia itu, kelak setelah meninggal dunia.

Senin, 17 Agustus 2009

Perkawinan Menurut Al Qur'an

Perkawinan Menurut Al Qur’an .

Menghalalkan dan mengharamkan atas nama agama merupakan hak prerogatif Allah atau dengan kata lain menghalalkan atau mengharamkan sesuatu itu khusus milik Allah, karena tidak pernah dilimpahkan kepada siapapun juga termasuk para Nabi dan para RasulNya.

Allah Berfirman :
Barang siapa yang berhukum, tidak menurut Firman Allah *), mereka itu adalah orang-orang Kafir. (Al Maidah 44)

*) Zabur, Taurat, Injil, Al Qur’an dlsb.

Allah berfirman :
Kalau kamu menuruti kemauan manusia yang ada dimuka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari Syariat/Hukum Allah, mereka tiada lain hanya mengikuti prasangka dan mengadu untung dengan menampilkan kebohongan. Ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Allah janganlah kamu ikuti selain Allah. (Al An’aam 116)

Allah berfirman :
Hai orang-orang yang beriman ! Janganlah kamu mengharamkan sesuatu, baik yang merangsang selera maupun kepuasan yang telah Allah halalkan untukmu, namun janganlah kamu melampaui batas sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (Al Maidah-87)

Bahkan Muhammad saw. pun ditegur Allah ketika mengharamkan apa yang dihalalkanNya.

1. Ketika Muhammad saw. mengharamkan madu.

Allah berfirman:
Hai nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang telah Allah halalkan bagimu, karena hendak mencari kesenangan hati istri-istrimu. (At-Tahrim-1).

2. Ketika Muhammad saw. memohonkan pengampunan pamannya Abdul Thalib yang menolak ajakan Muhammad saw. untuk mengucapkan Kalimah Sahadat dan ketika meninggalnya dimohonkan pengampunannya oleh Muhammad saw., kemudian turun;

Firman Allah :
Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni neraka jahanam. (AT Taubah/Baraa-ah 113)

3. Terhadap para tawanan perang.
Terdapat dua pendapat, pendapat pertama dari Umar ibnul Khaththab, menghendaki semua tawanan dibunuh, pendapat kedua dari Abu Bakar, menghendaki agar mereka membayar fidyah dan Rasulullah saw. menyetujui pendapat kedua dari Abu Bakar, tetapi kemudian turun wahyu dari Allah yang mencela keputusan Muhammad saw. dan menurunkan FirmanNya sebagai berikut.:

Tidak patut seorang nabi sedang dalam peperangan menukar tawanan perang dengan uang tebusan, sebelum dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi. Kamu menginginkan harta benda duniawi, sedangkan Allah menghendaki pahala akherat untukmu dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Al Anfal-67)

Dengan ayat-ayat tersebut Allah menegaskan, bahwa menghalalkan dan mengharamkan itu sepenuhnya hak Allah yang tidak pernah dilimpahkan kepada manusia maupun Rasulnya dan bahkan mengancam dengan hukuman dimasukkan neraka bagi mereka yang mengharamkan apa yang dihalalkan Allah, dimasukkan dalam golongan orang-orang Kafir, tersebut dalam Al Maidah-44.

Perkawinan menurut Islam.

Halal dan haramnya suatu perkawinan menurut agama Islam berdasarkan pada Al Qur’an;

QS.2 - Al Baqarah 221, mengharamkan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah kawin dengan golongan Musryik.

Allah berfirman :
Janganlah kamu (laki-laki Muslim) menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan-perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan-perempuan musyrik sekalipun menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (perempuan muslimah) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu, mereka (kaum musyrik) akan membawa kedalam api (Neraka). (QS. 2 - Al Baqarah 221.)

QS. 60 - Al Mumtahanah 10, mengharamkan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah kawin dengan golongan Kafir.

Allah berfirman :
Hai orang-orang beriman ! jika perempuan-perempuan beriman datang berhijrah kepadamu, ujilah mereka. Allah mengetahui keimanan mereka; bila sudah kamu pastikan mereka perempun-perempuan beriman, janganlah dikembalikan mereka kepada kaum Kafir; mereka (Wanita Muslimah) tidaklah halal (sebagai istri) bagi mereka (kaum Kafir), dan mereka (kaum Kafir) pun tidak halal (sebagai suami) bagi mereka (wanita muslimah). Dan berikan kepada mereka (kaum Kafir) apa yang telah mereka bayar (mas kawin). Kemudian, tiada salah kamu menikah dengan mereka (wanita muslimah), asal kamu bayar mas kawin mereka. Dan janganlah kamu berpegang pada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan Kafir; dan hendaklah kamu minta mas kawin yang telah kamu bayarkan, dan biarlah mereka (orang-orang Kafir) meminta apa yang telah mereka bayarkan (mas kawin dari perempuan-perempuan yang datang padamu). Itulah ketentuan Allah; Ia memberikan keputusan yang adil antara kamu. Dan Allah maha tahu, Maha Bijaksana. (QS. 60 - Al Mumtahanah 10)

QS. 5 - Al Maidah 5, menghalalkan orang-orang Ahli Kitab, dan Pria Muslim dihalalkan mengawini Wanita Ahli Kitab, sedangkan untuk Wanita Muslimah tidak ada larangan atau tidak diharamkan kawin dengan Pria Ahli Kitab.

Allah berfirman :
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal pula bagi mereka. Dan dihalalkan kawin dengan wanita-wanita yang menjaga kehormatan mereka dari kalangan orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud menikahinya dan tidak menjadikannya sebagai gundik. (QS. 5 - Al Maidah 5)

Berdasarkan ketiga Firman Allah tersebut di atas, maka Ahli Kitab dalam hal ini Kristen dan Yahudi tidak digolongkan dalam golongan orang-orang musyrik atau Kafir yang dilarang kawin dengan Pria Muslim maupun Wanita Muslimah. Orang Kristen dan Yahudi dimasukkan dalam golongan Ahli Kitab.

Perdebatan antara golongan penafsir lama dan penafsir baru dalam agama Islam pada umumnya diseputar ketiga ayat tersebut.

Kajian di atas menunjukkan bahwa pemikiran kalangan Islam berkaitan dengan perkawinan telah mengalami pergeseran yang sangat besar khususnya untuk kaum Pria Muslimnya, tetapi sebaliknya berdasarkan pertimbangan dan manfaat-mudaratnya, Wanita Muslimah yang dilarang kawin dengan Pria non Muslim muncul asumsi dimensi ketidak adilan.
Ulama Islam sepakat, jika terjadi perbedaan pendapat hendaknya kembali ke Al Qur’an. Didalam Al Qur’an tidak ada satu ayatpun yang dengan tegas mengharamkan Wanita Muslimah kawin dengan Pria non Islam Ahli Kitab, jadi yang mengharamkan perkawinan antara Wanita Muslimah dengan Pria non Muslim Ahli Kitab hanya pendapat ulama, untuk mencegah Wanita Muslimah terpengaruh suaminya kemudian akan murtad karena keluar dari Islam.

Pendapat yang mengatakan untuk mencegah Wanita Muslimah terpengaruh suaminya kemudian akan murtad karena keluar dari Islam, pendapat demikian belum pernah diuji kebenarannya.

Allah berfirman :
Ikutilah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Allah janganlah kamu ikuti pemimpin (*selain Allah. (Al A’raaf- 3)

*) Pengertian pemimpin disini adalah ajaran-ajaran, pendapat-pendapat, seruan-seruan, pernyataan-pernyataan, perintah-perintah atau ajakan-ajakan berdasarkan pandangan manusia dan Allah juga telah mengingatkan agar jangan memuja-muja atau mengagung-agungkan/mengkultuskan sesama Manusia.

Pengertian Musyrik dan Kafir sekarang sudah bergeser dari pengertian Musyrik dan Kafir pada jaman Muhammad saw. yang dimaksud dengan Musyrik pada jaman Muhammad saw. waktu itu adalah orang Arab yang beragama nenek moyangnya yaitu agama Pagan menyembah Dewa Bulan dan hal demikian tersebut dalam Firman Allah dalam QS. 9-AT Taubah/Baraa-ah 113.
Ketika Muhammad saw. memohonkan pengampunan pamannya Abdul Thalib yang menolak ajakan Muhammad saw. untuk mengucapkan Kalimah Sahadat dan ketika meninggalnya dimohonkan pengampunannya oleh Muhammad saw., kemudian turun Firman Allah:

Tidak patut bagi Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memintakan ampunan Tuhan bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang musyrik itu kaum kerabatnya sendiri, setelah nyata bagi mereka bahwa orang-orang yang musyrik itu penghuni neraka jahanam. (QS. 9-At Taubah/Baraa-ah 113)

Abdul Thalib paman Rasulullah saw. digolongkan musyrik karena meskipun diajak masuk Islam, ia tetap memeluk agama Pagan, agama nenek moyang orang Arab, sampai meninggalnya.
Sebagian Ulama juga mempunyai pendapat berbeda;

1. Mereka menganggap Ahli Kitab dalam hal ini Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha, Konghucu bukan termasuk musyrik yang dimaksud oleh Firman Allah dalam Al Qur’an, karena Islampun mengakui bahwa Kristen dan Yahudi digolongkan dalam golongan Agama Samawi atau agama berdasarkan Wahyu Illahi, sedangkan Hindu, Buddha, Konghucu masing-masing mempunyai Kitab dan Nabi atau utusan.

2. Mereka digolongkan Musryik menurut Al Qur’an yaitu orang Arab yang menganut agama Pagan atau agama nenek moyangnya.

3. Pengertian Kafir sendiri lebih ditujukan kepada orang yang beriman kepada selain Allah, sedangkan Kristen, Yahudi, Hindu, Buddha dan Konghucu adalah agama yang beriman kepada Allah, karena itu tidak dimasukkan dalam golongan orang-orang Kafir tetapi dimasukkan dalam golongan Ahli Kitab, selain itu Kafir ditujukan juga kepada orang-orang yang berhukum tidak menurut Firman Allah, dan juga kepada orang-orang yang memusuhi para Rasul.

4. Para ulama berselisih pendapat mengenai wanita Majusi dan Buddha, sebagian diantara mereka mengharamkan, karena wanita Majusi dan Budha dianggap wanita Musyrik, mereka beralasan : ………………… janganlah kamu nikahi wanita Musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik daripada wanita Musyrik meskipun dia menarik hatimu. (Al Baqarah 221.)

Sebagian ulama lainnya memperbolehkan, karena orang Majusi dan Budha dianggap sebagai ahli Kitab, dalam hadis dikatakan : Berlakulah terhadap mereka seperti terhadap ahli kitab.

Muslimah tidak diharamkan kawin atau dikawini oleh Pria Non Muslim, berdasarkan Firman Allah di dalam; Al Baqarah 221, Al Mumtahanah 10, Al Maidah 5, Al Maidah 44, dan At Taubah/ Baraa-ah 113.